MOJOKERTO (majanews.com) – Antara ada dan tiada tentang kisah-kisah kerajaan di jaman dahulu, kali ini majanews.com mengintip fakta tentang adanya peninggalan Raden Wijaya yang ada di jawa timur. Tepatnya di Dusun Kedungwulan Desa Bejijong Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Yang di namai Siti Inggil.
Dalam catatan sejarah, Siti Inggil adalah tempat ritual atau petilasan menantu Kartanegara Raja Singasari yang bernama Raden Wijaya.
Fakta tersebut, dalam fisik situs di lokasi siti inggil merupakan bukti adanya kisah kerajaan jaman dahulu. Terlihat sisa pondasi berupa bangunan kuno di area siti inggil, peninggalan Raden Wijaya itu hingga sekarang dirawat dengan baik oleh penduduk sekitar.
Dalam perawatan, atasnya area siti inggil dibangun semacam sanggar pemujaan yang didalamnya diyakini sebagai makam Raden Wijaya.
Untuk memastikan, majanews.com melakukan penelusuran di lokasi area Siti Inggil, dan Didalam terdapat sumur yang airnya dianggap mengandung berkah. Disekitar terlihat ada juga sebuah pendopo di bangun tepat didepan sanggar pemujaan.
Meskipun suasana telihat nuansa keagamaan kehinduan, petilasan Raden Wijaya tersebut juga dilengkapi dengan musholla. dan sebuah bangunan dibuat meditasi yang disebut dengan sanggar gundul.
Tersohornya Situs Siti lnggil di Dusun Kedungwulan Desa Bejijong, banyak dikunjungi peziarah berbagai daerah. Apalagi disaat hari-hari tertentu, khususnya pada malam kemis legi dan jumat kliwon.
Moh As’ad (55) selaku juru kunci saat ditemui majanews.com menjelaskan, Siti Inggil ini berupa makam dan terdapat candi Antapura atau Pure Agung. Dan terdapat lima makam tetapi yang dimakamkan hanya abunya saja.
Menurut juru kunci tersebut, dulunya adalah petilasan dari Raden Wijaya dimasa hidupnya, setelah meninggalnya Raden Wijaya di darmakan di candi simping sebagai lambang Wisnusimba atau hindu.
Lebih lanjut, area petilasan di darmakan di Antapura atau Budha, di jaman dahulu ajaran masih Budha Siwa.
“Mangkanya di candi simping ada disini juga ada.” kata juru kunci tersebut sembari menikmati rokok yang ia pegang.
Masih As’ad, nama Siti Inggil yang sering didengar oleh masyarakat itu adalah cerita rakyat dahulu ditengah sawah ada gundukan tanah, orang Desa Bejijong menyebutnya Lemah Geneng yang menggunakan bahasa daerah, setelah itu akhirnya dirubah menjadi Siti Inggil yang artinya sama.
Tidak menyia nyiakan kesempatan kuli tinta ini menanyakan bagaimana aturan atau mekanisme untuk bisa menjadi juru kunci seperti Moh As’ad untuk generasi penerus warga Desa Bejijong.
Juru kunci tersebut menjelaskan, di zaman dulu untuk juru kunci petilasan Raden Wijaya dari garis keturunan, bila orang tua menjadi juru kunci pastinya generasi selanjutnya dipegang oleh sang anak. setelah adanya aturan desa atau adat ditahun 2002 dimulai adanya pemilihan dengan masa bakti 4 tahun.
Dalam aturan desa di tahun 2002 diterapkan hanya empat kali. Dan untuk aturan sekarang tentang juru kunci petilasan Raden Wijaya dilakukan penunjukan.
“Ditahun 2018 bapak sukirno selama 2 tahun, dan saya 2 tahun. Hal inilah mengawali bahwa juru kunci petilasan Raden Wijaya tidak ada kompetisi atau pemilihan,” Pungkas juru kunci tersebut.(ben/tim)